“Gigit
saja. Kunyah di dalam mulutmu, maka sarinya akan keluar dengan sendirinya.” Kata Ayah, mengajariku cara
memakan tebu. “Tapi jangan lupa kau buang ampasnya.” Beliau tersenyum.
Saat itu aku baru berumur tujuh
tahun. Malam satu Suro, dalam kalender Jawa. Sekitar tahun 1992. Hari itu kami
berada di sebuah tempat pengolahan gula tradisional di desa Rahtawu, daerah
perbukitan Muria, Kudus. Ayah mengajakku ke desa ini adalah untuk mengunjungi
seorang teman lamanya. Sekedar temu kangen, katanya padaku. Tak ada hal yang
lebih penting selain untuk menjaga ikatan persahabatan saja.
Teman Ayah adalah seorang petani
tebu. Om Karno, namanya. Dan sore itu, kami sudah berada di tempat beliau
bekerja.
“Bagaimana rasanya?” Tanya beliau,
yang duduk di sebelah Ayah.
"Manis.” Aku menjawab sambil
memicingkan mata—terlalu larut dalam rasa manisnya potongan-potongan tebu ungu
yang kukunyah di dalam mulutku.
“Ha ha ha, ada sesuatu yang harus
kau coba lagi kalau kita sudah sampai di rumah Om nanti.” Ia mengelus-elus
kepalaku.
Kami bertiga, kemudian berjalan meninggalkan
pabrik gula tradisional yang dibangun seadanya di pinggir jalan itu. Pabrik itu
hanya berupa tumpukan batu bata yang di atasnya ditumpangi wajan-wajan besar
untuk memasak gula dan dinaungi tenda-tenda berwarna biru. Sebagai bukan orang
yang lahir di desa, aku menganggap hal yang demikian ini merupakan hal yang sangat
unik dan menarik.
Rumah Om Karno berada lebih ke atas
lagi. Walau lumayan jauh dan melelahkan, tapi aku tetap merasa senang sebab
Rahtawu adalah tempat yang indah. Hari itu banyak sekali pejalan kaki. Selain
kami, ada banyak juga orang-orang kota yang berbondong-bondong berjalan menuju
atas. Kata Ayah, Rahtawu memang selalu begini setiap malam satu Suro dan Maulid. Di Rahtawu banyak sekali
petilasan-petilasan leluhur. Ada petilasan Eyang Sakri, Eyang Abiyasha, Eyang
Lokajaya—yang konon merupakan guru spititual Sunan Kalijaga, Eyang Manik
Manuyasa, hingga Eyang Gajah Mada. Kata Om Karno, kata “Eyang” di desanya
berarti “Orang Suci”.
Orang-orang
sering datang ziarah ke sana, meski sebenarnya petilasan-petilasan itu bukan
merupakan makam.
Desa Rahtawu,
selain menarik karena hal itu dan keindahan alamnya, juga menarik karena di desa ini banyak spesies flora yang unik.
Ada yang namanya Simbar Lutung, semacam lumut yang tumbuh menggantung dan
menjulur panjang ke bawah seperti ekor lutung. Aku melihat, hampir di setiap
beranda rumah yang kutemui di sana, tergantung tanaman jenis ini. Ada pisang
yang panjangnya hampir sepanjang lenganku ketika itu. Ada juga bambu unik yang
di dalamnya terdapat air. Bambu ini banyak dijajakan di Balai Desa, penduduk
setempat menyebutnya “Guling Ajaib”. Konon, air yang terdapat di dalam bambu
ini dipercayai bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Dan satu spesies
flora yang unik lagi adalah buah yang pohonnya tumbuh di depan rumah Om Karno.
Buah ini dinamakan Parijata. Warnanya hampir serupa biji delima. Paling tidak,
itulah yang kulihat ketika itu. Om Karno memetiknya beberapa untukku dan
menyuruhku mencicipinya. Rasanya asam dan sepat, entah memang seperti itu
rasanya, atau memang buah itu belum matang. Yang jelas, aku tidak suka dengan
rasanya.
“Jangan
diperlakukan seperti itu,” kata Ayah ketika aku spontan memuntahkan buah ini
dari mulutku, “Kau harus merasa bersyukur bisa mencicipinya. Sebab di
Indonesia, buah itu sudah menjadi buah yang langka.”
Om Karno hanya
tertawa. Ia juga ikut menjelaskan, “Parijata itu buah yang diburu para wanita
hamil.”
“Kenapa bisa
begitu?” tanyaku heran.
“Ada mitos yang
mengatakan, jika ada wanita hamil yang memakan buah ini, maka ia akan mendapat
keturunan yang cantik bila perempuan, dan tampan bila laki-laki.”
Aku sedikit
tidak percaya. Tapi aku tersenyum mendengarnya. Pura-pura setuju saja.
Barangkali memang seperti itu, tapi aku belum bisa mempercayainya saat itu.
Senja datang
saat kami semua duduk-duduk di beranda rumah Om Karno sambil menikmati segelas
kopi yang dicampur dengan serpihan-serpihan kecil jagung kering. Sekarang ada
istri Om Karno dan anaknya yang masih berusia sekitar dua tahun bergabung
bersama kami. Udara sangat dingin. Kabut datang melindap segala yang sebelumnya
tampak di depan rumah. Tapi karena kebersamaan itu, perasaanku ketika itu
terasa demikian hangat. Mungkin juga persaan mereka semua.
Esok harinya,
Ayah dan Om Karno mengajakku pergi ke sungai. Mengenang masa-masa bagaimana
mereka berdua dulu bertemu dan menjadi sahabat dekat hingga sekarang. Konon,
joran dan kaillah yang mempertemukan mereka.
Dan hari itu,
adalah hari di mana aku dipertemukan pertamakali dengan kail dan joran oleh
Ayah.
Di sungai yang
berarus deras itu kami memancing di atas batu-batu yang tingginya melebihi
tinggi tubuhku. Kami mendapat banyak tangkapan, meski yang kami dapatkan cuma
ikan-ikan wader. Tapi aku bahagia. Sangat bahagia.
"Bagaimana?" tanya Ayah padaku, "Apa memancing itu menyenangkan?"
"Iya." kujawab sambil tersenyum lebar. "Tapi, sayang. Untuk bisa mendapat ikan, kita kadang harus menunggu lama."
"Yah, begitulah." Ayah menepuk pelan pundakku, "Itulah kenapa, Ibumu yang selama ini tak pernah ikut Ayah pergi memancing, tak pernah tahu, betapa sebenarnya Ayahmu ini adalah orang yang sabar." [*]
"Bagaimana?" tanya Ayah padaku, "Apa memancing itu menyenangkan?"
"Iya." kujawab sambil tersenyum lebar. "Tapi, sayang. Untuk bisa mendapat ikan, kita kadang harus menunggu lama."
"Yah, begitulah." Ayah menepuk pelan pundakku, "Itulah kenapa, Ibumu yang selama ini tak pernah ikut Ayah pergi memancing, tak pernah tahu, betapa sebenarnya Ayahmu ini adalah orang yang sabar." [*]